Friday, October 13, 2006

Parcel!

Gw termasuk yang nggak setuju dengan imbauan (kalau memang benar) untuk nggak ngasih2 parsel Lebaran. Meskipun bukan pejabat publik, gw juga punya pengalaman dikasih parsel Lebaran seperti itu. Ada perasaan yang meluap-luap pas kita menerima bingkisan yang di situ tertera nama kita. Kemasannya mengagumkan, ukurannya juga gak pernah kecil-kecil amat (gw memang suka yang gede2 kok, hihi..).

Ada keasyikan tersendiri manakala kita membongkar-bongkar isinya. Adegan buka-bukaan seperti ini memang kadang lebih menarik daripada kegiatan intinya. Dan maaf, berhubung sekarang lagi bulan puasa, gw nggak akan memperjelas dengan ilustrasi yang nyerempet-nyerempet film semi-bokep!

Yang paling penting, kita tahu ada orang-orang di luar sana yang rela meluangkan sedikit waktu, tenaga, dan biaya demi perhatiannya kepada kita.

Pemborosan? Enggak lah. Semua kegiatan yang memberikan nilai tambah (value added) itu mestinya patut kita hargai. Contohnya ketupat. Kenapa berasnya harus dimasuk-masukin ke dalam casing dari daun kelapa yang dianyam? Sebelumnya, mereka mesti manjat-manjat pohon kelapa dulu buat ngambilin daun itu, jual-jualin ke pasar... itu kan buang-buang tenaga, ongkos juga kaan?? Dan setelah jadi ketupat mateng, nilai gizinya juga gak nambah2 amat! Paham?? Kalau kegiatan seperti itu kita larang, yang kesian kan saudara-saudara kita yang tiap tahun berjualan casing ketupat. Mau disuruh banting setir jadi penjual casing handphone, belum tentu juga mereka punya modal cukup.

Sarana menyogok? Nah ini dia! Soal korupsi atau sogok-sogokan itu cuma niat. Menyuap adalah message, dan kiriman parsel hanyalah salah satu dari sekian banyak vehicles. Menurut pengamatan gw, untuk kegiatan sogok-menyogok, amplop lebih populer daripada parsel. Contohnya, gw pernah liat sendiri: di kantin yang letaknya di bagian belakang salah satu gedung pengadilan negeri di Jakarta. Di kantin yang menghadap ruang-ruang tahanan sementara itu, salah satu commodity yang paling laris dan stoknya selalu banyak adalah... amplop!

Kantin itu mestinya kan cuma untuk berjualan makanan dan minuman. Bukan stationary, bukan terletak di kantor pos; dan gedung pengadilan itu sepertinya juga jarang-jarang disewa buat resepsi kawinan. Lalu buat apa si ibu2 itu berjualan amplop kalau memang nggak pernah ada konsumen yang beli?? Dan ah.. kalau memang juga laku, kenapa dia nggak sekalian berjualan parsel di situ!

Nggak sesuai dengan "budaya kita"? Nggak juga. Meskipun mengirim parsel tradisi impor, dan isinya kadang juga barang impor, ruh dari kegiatan kirim-mengirim parsel adalah mempererat tali silaturahmi di bulan yang baik ini.. (wuihh!!). Tradisi ini sepertinya meneruskan kegiatan kirim-kirim makanan antar-tetangga dan handai taulan, yang banyak kita jumpai dalam budaya kita pas Lebaran. Jadi kenapa musti suspicious?

Parsel itu haram atau halal? Berhubung belum ada fatwa dari lembaga resmi, maka gw akan mendahuluinya dengan menyatakan, haram atau halal itu tergantung niat dan items dalam parselnya itu sendiri. Parsel itu pada dasarnya halal. Dan baru bisa disebut haram kalau isinya mengandung minuman atau makanan yang diharamkan menurut ajaran agama, misalnya aneka minuman yang di botolnya tertulis Jack Daniel's, Chivas Regal, Black Label, Jim Beam.... upss. Stopp!!!


Wednesday, October 11, 2006

Pulang ato nggak pulang, that is the question.....


Home is the place where when you have to go there, they have to take you in.” Itu ditulis oleh Robert Frost dalam puisi berjudul "The Death of the Hired Man". Subject matter dalam puisi itu mungkin sama sekali gak nyambung dengan ketikan ini. Dan lagian, gaya aja kaan, ngobrolin mudik Lebaran pake ngutip2 puisi, hihi..

Begini, sekarang ini gw lagi tenggelam dalam kebimbangan serebral tentang perlu atau tidaknya gw berperan serta dalam rutinitas tahunan itu. "Ngapain mudik2 segala, kayak pembokat aja," kata temen gw si Roy. Lagian, gw sempat kepikiran juga gimana kalau nanti di tengah-tengah perjalanan itu ada pemudik lain yang berkomentar: gondrong kok mudik! Menyedihkan sekali bukan?

Dan secara gw udah nggak punya orangtua lagi yang masih hidup, masih perlukah kegiatan ini? Silaturahmi dengan para sahabat, saudara, ziarah rame-rame, pertemuan arisan dengan para kerabat segaris keturunan (sekadar buat aktualisasi diri, atau tepatnya buat meneduhkan diri "under the shade of family tree")... masihkah punya daya pikat? Masihkah ada "pulang" dalam pulang ke kampung halaman itu? Is there anybody to take me in? (Dan si Kunti yang dulu itu, masih suka kangen nggak ya sama gw?)

Mungkin, atraksi yang bakal menarik hanyalah perjalanannya. Capek, eneg, macet, dan sebagainya itu yang bakal lumayan menarik, lumayan bagus buat bahan postingan di blog ini juga hehe.. Dan itu juga yang bikin gw sekarang belom dapet mood yang tepat: pulang atau nggak yah?

* Judulnya ngutip kata-kata Prince Hamlet pas lagi bediri di depan cermin itu loh!