Sunday, July 23, 2006

Turbulensi Serebral (reposted)

Suatu malam bertahun-tahun silam, gw berada di tengah sekumpulan "orang pinter". Gw lupa persisnya kapan: tanggal berapa, bulan kapan, tahun berapa. Yang pasti, saat itu adalah tengah malem Jumat Kliwon, dan tempat kejadiannya di teras sebuah rumah yang sederhana di sebuah kompleks perumahan pejabat departamen pemerintah yang berlokasi di salah satu sudut selatan Jakarta (mamposs.. panjang kan deskripsinya:))). Kita bersembilan. Pas lagi break acara, kita duduk melingkar, ngopi dan ngerokok2, diskusi ngalor ngidul, mendengarkan berbagai petuah "the leader of the pack" di tengah2 acara.

Pasti ada yang nanya kenapa gw yang normal ini bisa tiba-tiba berada di antara para paranormal itu? Jawabannya: iseng, diajakin temen, itu juga baru dua kali kok... stop! Ini kepanjangan buat sebuah prolog, hihi..

Begini, dalam diskusi itu juga dibahas tentang hubungan antara apa yang kita visualisasikan dan konsekuensi yang bisa menimpa kita. Ada pernyataan menarik tentang Tragedi Mina --sebuah peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya dalam acara ibadah haji di Mekkah (tahun berapa yah?). Konon, selama berbulan-bulan sebelum tragedi terowongan yang memakan banyak korban warga Indonesia itu, di Tanah Air ada sebuah lagu pop yang lumayan terkenal dan sering diputer di radio2.. yang reffrain-nya bolak balik berbunyi: "hancur Minah..". Bingung? Gw juga.

Itu pertama kalinya gw mendengar ada tragedi kematian massal yang dihubung2kan dengan sesuatu yang ajaib. Dan hanya di kalangan mereka analisis itu beredar.

Sekarang? Beberapa bencana terjadi di sini: Jogja, Merapi, Sinjai, dan terakhir tsunami minor di Pangandaran ("Lama-lama Pulau Jawa bisa klelep ya," kata seorang temen di Blanda.) Buanyak banget analisis non-otak seperti itu dijual media massa, yang para wartawannya sudah tentu adalah para graduate perguruan tinggi. Mereka tahu memanfaatkan kekosongan spiritual khalayak pembacanya, yang butuh penjelasan mengagetkan untuk segala peristiwa yang terjadi akhir2 ini.
Nah terakhir, gw dapet berita mengerikan di koran Ibu Kota: bulan November nanti bakal ada bencana di Jakarta! Itu kata si Mama Lemon, paranormal yang konon udah pernah meramalkan gempa dan sebagainya kemarin itu. Dan liat kaan, demen banget koran-koran memberitakan yang seperti itu. Krisis agama? Cerebral turbulence? Tauk ah, namanya juga jualan.

****

Okay, dalam kerangka takhayul itu, setujukah kalian kalau ada yang bilang bahwa semua bencana alam ini terjadi gara2 kita sering menonton film-film Hollywood yang subjeknya tentang catastrophe itu? Atau sinetron2 horror tentang azab fisik yang diterima langsung oleh para pendosa?

Atau jangan-jangan benar kata si Lia Edun, pemimpin Kerajaan Hantu yang sekarang bersinggasana di Rutan Pondok Bambu. Dia bilang dalam salah satu puisinya, bencana-bencana yang terjadi selama ini ada hubungannya dengan "goyang ngebor" dsb yang dilakukan si Inul --inget tragedi lumpur di sumur Jawa Timur itu. Ups.. jangan-jangan memang benar!

Mari kita mengingat kejadian dari hampir setahunan silam, yakni konflik antara para penyanyi dangdut sekseh dan Rhoma Irama. Kita konotasikan kata "goyang" dengan gempa. Lalu kata "ngebor" dengan.. ngebor juga (bahasa linggisnya: drilling!)

Goyangan Inul dan kawan-kawan itu jauh lebih dahsyat daripada yang dilakukan Kak Rhoma beserta para sekutunya, yang cuma sedikit maju-mundur dan kiri-kanan --kayak ogah2an begitu deh. Getarannya lebih kenceng, dan lebih variatif. Bandingannya, goyang Inul ini di atas angka 6 pada skala Ritcher. Sedangkan goyangan Kak Rhoma, diliat di seismograf, angkanya kurang dari 2 SR. Jadi kebayang kan, kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa Inul itu jauh lebih parah dan sering berpotensi menimbulkan tsunami...

Apakah karena jumlah simpatisan Inul lebih banyak daripada Kak Rhoma, maka semua gempa itu melanda? You've got what you wish, gitu? Ah sudah.. sudah! Gw lebih suka nggak sepakat.

Gw bukan pengikut Lia Edun yang kepalanya pada pelontos and pake baju putih2 itu, tahu kaan alesannya! Sebagai seorang "anak metal yang terasing di republik dangdut", gw menganggap teorinya masih terlalu apocalyptic, terlalu meletihkan, membelenggu, merontokkan daya hidup. Gw lebih suka memandang semua ini cuma kejadian naik-turun... 1nhale-exhale... semuanya biasa-biasa saja... bencana dan bahagia sama saja... langit di luar langit di dalam menyatu dalam diriku.. (terakhir ini gw cuma njiplak kata2 Rendra, haha..)

Done! Masih bingung? Tambah takut? Mendingan nggak usah dipikirin.. mendingan gak usah dibaca juga postingan ini, hihi..

* Mood gw lagi muram and mengalami "turbulensi serebral" pas bikin postingan ini.. maap kalo nggak fokus.

2 comments:

Anonymous said...

Ndah, jepang tuh pengalaman gempa dah berabad-abad lalu.. jadi majunya peradaban kita juga masih berabad2 mendatang, gitu yah :)):))

* heh, yang bener kudisan ato usus buntu seeh??

Anonymous said...

Very pretty design! Keep up the good work. Thanks.
»